Rabu, 16 Juni 2010

tafsir dan ruang lingkupnya

Al Qur’an dan Tafsir
Al Qur’an adalah Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibriel secara mutawatir dan membacanya termasuk ibadah.
Tafsir adalah ilmu yang mempelajari tentang pemahaman dan Penjelasan dari ayat ayat dan surat surat yang terkandung dalam Al Qur’an
Perbedaan tafsir dan Al Qur’an
Al Qur’an Tafsir
Membacanya termasuk ibadah Membacanya bukan termasuk ibadah
Kebenaranya mutlak Kebenarannya menurut mufassirnya
Merupakan Wahyu ilahi Merupakan hasil daya pikir kritis seseorang dalam memahami Al Qur’an
Di dunia ini hanya ada satu Banyak kitab kitab tafsir yang ada menurut jenisnya masing masing
Merupakan mukjizat terbesar -

Macam-macam Metode Tafsir
1. Metode tahlili
Nama lainnya adalah tafsir tazi’ie. Tafsir tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna yang terkandung di dalamnya sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam mushaf utsmani. Mushaf usmani disini adalah alqur’an yang kita baca sekarang ini. tafsir ini dibagi menjadi beberapa macam yang antara lain: Tafsir bil Ma’tsur, Tafsir bil Ra’yi, Tafsir Fiqih, Tafsir Sufi, Tafsir al-Falsafi, Tafsir Ilmi dan Tafsir Adabi Ijtima’ie.

2. Metode Ijmali
Metode Ijmali adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menyajikan makna-maknanya secara global. Makna keseluruhan dari ayat atau surat yang ditafsirkan dijelaskan disitu. Inti dari ayat atau surat yang ditafsirkan langsung dijelaskan. Hal ini sangat mempermudah orang untuk mengetahui isi dari suatu ayat dan surat tertentu.

3. Metode Muqarran
Metode Muqarran arrtinya metode perbandingan. Yang dimaksud disini adalah metode penafsiran dengan membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah yang berbeda, atau redaksi yang berbeda dengan masalah yang diduga sama. Metode ini adalah membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi yang tampaknya bertentangan serta membandingkan pendapat-pendapat Ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat al-Qur’an.

4. Tafsir Maudlu’i
Tafsir Maudlu’i atau tematik adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an melalui penetapan topik tertentu dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari berbagai surat yang berbicara tentang topik tersebut untuk dikaitkan satu dengan yang lain lalu diambil kesimpulan secara menyeluruh.

KARAKTERISTIK, KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN DARI MACAM MACAM TAFSIR

Tafsir ijmali
Karakteristik
1. Menafsirkan secara menyeluruh / global
2. Tidak memerlukan metode perbandingan
3. Lebih praktis dan singkat
4. Mudah dipahami oleh orang awam
Kelebihan
1. Mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an mudah dan praktis apa adanya
2. Tidak harus menghubungkan kepada hal-hal lain diluar keagungan arti ayat tersebut Uraian penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an mudah dipahami dan dimengerti,
3. Maksud yang dikandung oleh suatu ayat dapat ditangkap dengan mudah dan cepat,
4. Objektivitas penafsiran tetap terjaga.
Kelemahannya
1. Penafsirannya sangat sempit dan terbatas
2. Rahasia-rahasia dan hikmah yang terkandung di dalam ayat tidak terungkap banyak
3. Pembahasan terhadap pokok-pokok masalah tidak tuntas.


Tafsir Tahlili
Karakteristic
1. Penafsirannya detail dan terperinci
2. Metode ini paling rumit tapi sangat lengkap terutama dari segi bahasa
3. Setiap ayat dalam Al Qur’an ditafsirkan dan dijelaskan sedetail mungkin
Kelebihan
1. Sangat lengkap dan terperinci
2. Menggugah setiap orang untuk menganalisi setiap ayat dan surat yang ditafsirkan
3. Mempermudah setiap orang untuk mengetahui makan setiap kata
4. Banyak digunakan oleh ulama klasik
Kelemahan
1. Sulit dipahami bagi orang awam
2. Menunjukkan petunjuk al Qur’an seolah olah secara parsial saja
3. Melahirkan penafsiran yang subjektif yang dikhawatirkan akan membebaskan setiap orang untuk menafsirkan untuk kepentingan pragmatis
4. Melahirkan pemikiran isroiliyyat

Tafsir maudlu’I / tematik
Karakteristik
1. Berdasarkan tema / judul tertentu
2. Ilmu munasabatul ayat (korelasi antar ayat) sangat diperlukan
3. Memperlihatkan kesempurnaan dan keotentikan Al Qur’an
4. Terkadang Penafsiran dilakukan ketika ada permasalahan kontemporer
Kelebihan
1. Memandang al qur’an sebagai kitab suci yang komplet dan up to date
2. Al Qur’an dirasakan sebagai solusi dan menjawab masalah yang ada
3. Mudah dipahami sesuai dengan kebutuhan
4. Al Qur’an dirasakan ada dan berbicara langsung dengan kehidupan ini.
Kekurangan
1. Pembahasan setiap ayat/ surat kurang terperinci
2. Tidak mengemukakan makna setiap kata dan anilisisnya
3. Hanya terpaku pada satu tema tertentu

Tafsir Muqaran
Karakteristik
1. Menafsirkan Al Qur’an secara redaksional
2. Membandingkan ayat/ surat dalam alqur’an yang memiliki kemiripan redaksi
3. Membandingkan hadist nabi dan ayat ayat dalam al qur’an
4. Membandingkan pendatap sahabat, hadist dan ayat dalam Al Qur’an
Kelebihan
1. Mengetahui hadist atau pendapat sahabat yang bertentangan dengan al Qur’an
2. Menjaga keotentikan al Qur’an
3. Mengetahui hadist dhoif yang bertentangan dengan al Qur’an
4. Lebih mengenal keindahan Al Qur’an dari segi bahasa/ redaksi
Kelemahan
1. Tema / judul sangat terbatas dibanding dengan tafsir tematik
2. Hanya menganalisa Al Qur’an secara redaksional saja
3. Sulitnya menganalisa jenis jenis hadist yang digunakan untuk perbandingan




Surat Al Fatihah
    
1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang[1].

    
2. Segala puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam[3].

  
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

   
4. Yang menguasai[4] di hari Pembalasan[5].

    
5. Hanya Engkaulah yang kami sembah[6], dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan[7].

   
6. Tunjukilah[8] kami jalan yang lurus,

         
7. (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.[9]


Tafsir Al Fatihah
1. tafsir Tahlili
Makna bismillahirrohmanirrohim
Adalah saya memulai membaca al-Fatihah Ini dengan menyebut nama Allah. setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah, seperti makan, minum, menyembelih hewan dan sebagainya. Allah ialah nama zat yang Maha suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha Pemurah, Ar Rahiim (Maha Penyayang)
Makna al hamdu
Alhamdu (segala puji). memuji orang adalah Karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya Karena perbuatannya yang baik. lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah Karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.
Makna Rabb
Rabb (Tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang Memiliki, mendidik dan Memelihara.
Makna maaliki
Maalik (yang menguasai) dengan memanjangkan mim,ia berarti: pemilik. dapat pula dibaca dengan Malik (dengan memendekkan mim), artinya: Raja.
Makna adl-dloliin
yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.

Tafsir ijmali
surat al fatihah adalah yang pertama dalam al qur’an dan disebut juga dengan ummul kitab. Hal itu karena isi kandungan dalam surat ini sangat menyeluruh dan mewakili semua syariat islam yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.
Isi kandungan alfatihah adalah
1. Akidah islam harus teguh dengan menyakini keesaan allah dan kekuasaanNya
2. Menyakini bahwa Allah adalah yang menciptakan dan menjaga bumi ini
3. LArangan Syirik dan anjuran untuk tauhid
4. Petunjuk untuk orang orang beriman
5. Larangan mensekutukan Allah


Tafsir Muqoron
Lafazd pertama ayat al fatihah
    
Sama dengan penggalan ayat dalam surat an naml ayat 30
        
------------------------------
Lafazd ketiga ayat al fatihah
  
Dengan ayat 2 surat fussilat
    

KANDUNGAN SURAT LUQMAN 12-19
1. Bersyukurlah kepada Allah.
2. janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
3. perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya
4. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu.
5. Dan orang tua memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku,
6. Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya).
7. Dirikanlah shalat
8. suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar
9. Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
10. janganlah sombong dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
11. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu

Minggu, 04 Oktober 2009

beasiswa

semua tentang beasiswa ada disini

Rabu, 09 September 2009

Fazlurrahman dan pemikirannya

Fazlur Rahman dilahirkan pada tahun 1919 di daerah barat laut Pakistan. Ia dibesarkan dalam keluarga yang bermadzhab Hanafi, suatu madzhab fiqih yang dikenal paling rasional di antara madzhab sunni lainnya. Ketika itu anak benua Indo-Pakistan belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, yakni India dan Pakistan. Anak benua ini terkenal dengan para pemikir islam liberalnya, seperti Syah Wali Allah,Sir Sayyid Ali dan Iqbal.

A. Potret Seorang Intelektual Neomodernis
1. Latar Belakang sosial dan Intelektual
Fazlur Rahman dilahirkan pada tahun 1919 di daerah barat laut Pakistan. Ia dibesarkan dalam keluarga yang bermadzhab Hanafi, suatu madzhab fiqih yang dikenal paling rasional di antara madzhab sunni lainnya. Ketika itu anak benua Indo-Pakistan belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, yakni India dan Pakistan. Anak benua ini terkenal dengan para pemikir islam liberalnya, seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid Ali dan Iqbal.
Sejak kecil sampai umur belasan tahun, selain mengenyam pendidikan formal, Rahman juga menimba banyak ilmu tradisional dari ayahnya--seorang kyai yang mengajar di madrasah tradisional paling bergengsi di anak benua Indo-Pakistan. [1] Menurut Rahman sendiri, ia dilahirkan dalam keluarga muslim yang amat religius. Ketika menginjak usia yang kesepuluh, ia sudah bisa membaca Al-Qur’an di luar kepala. [2] Ia juga menerima ilmu hadis dan ilmu syariah lainnya. Menurut Rahman, berbeda dengan kalangan tradisional pada umumnya, ayahnya adalah seorang kyai tradisional yang memandang modernitas sebagai tantangan yang perlu disikapi, bukannya dihindari. Ia apresiatif terhadap pendidikan modern. Karena itu, keluarga Rahman selain kondusif bagi perkenalannya dengan ilmu-ilmu dasar tradisional, juga bagi kelanjutan karier pendidikannya.
Selain itu, latar sosial anak benua Indo-Pakistan yang telah melahirkan sejumlah pemikir Islam liberal, seperti disinggung di atas, juga merupakan benih-benih dari mana pikiran liberal Rahman dan skeptisisme Rahman tumbuh. Misalnya, Rahman sangat apresiatif terhadap pemikiran pendahulunya. Bahkan dalam pembahasannya mengenai wahyu ilahi dan nabi, ia secara eksplisit mengakui bahwa pemikirannya merupakan kelanjutan dari pemikiran pendahulunya, yakni Sah Wali Allah dan Muhammad Iqbal:

Dengan demikian, argumen saya tentang kemapanan karakter wahyu Al-Qur’an terdiri dari dua bagian. Dalam bagian Pertama, saya telah menyetujui—dan tidak berbuat lebih lagi terhadap—pernyataan-pernyataan syah wali Allah dan Muhammad Iqbal yang menerangkan proses psikologis wahyu.[3]

2. Latar Belakang Pendidikan dan Pengalaman
Setelah menamatkan sekolah menengah, Rahman mengambil studi bidang sastra arab di Departeman Ketimuran pada Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia berhasil menyelesaikan studinya di Universitas tersebut dan menggondol gelar M. A dalam sastra Arab. Merasa tidak puas dengan pendidikan di tanah airnya, pada 1946, Rahman melanjutkan studi doktoralnya ke Oxford University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1951. Pada masa ini seorang Rahman giat mempelajari bahasa-bahasa Barat, sehinga ia menguasai banyak bahasa. Paling tidak ia menguasai bahasa Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Persia, Arab dan Urdu.[4] Ia mengajar beberapa saat di Durham University, Inggris, kemudian menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy di Islamic Studies, McGill University, Kanada.
Sekembalinya ke tanah air, Pakistan, pada Agustus 1962, ia diangkat sebagai direktur pada Institute of Islamic Research. Belakangan, ia juga diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintah Pakistan, tahun 1964. Lembaga Islam tersebut bertujuan untuk menafsirkan islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah maupun belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan “Al-Qur’an dan Sunnah”. Kedua lembaga ini memiliki hubungan kerja yang erat, karena Dewan Penasehat bisa meminta lembaga riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan saran mengenai rancangan undang-undang.[5]

Karena tugas yang diemban oleh kedua lembaga inilah Rahman intens dalam usaha-usaha menafsirkan kembali Islam untuk menjawab tantangan-tantangan masa itu. Tentu saja gagasan-gagasan liberal Rahman, yang merepresentasikan kaum modernis, selalu mendapatkan serangan dari kalangan ulama tradisionalis dan fundamentalis di Pakistan. Ide-idenya di seputar riba dan bunga bank, sunnah dan hadis, zakat, proses turunnya wahyu Al-Qur’an, fatwa mengenai kehalalan binatang yang disembelih secara mekanis, dan lainnya, telah meledakkan kontroversi-kontroversi berskala nasional yang berkepanjangan. Bahkan pernyataan Rahman dalam karya magnum opusnya, Islam, bahwa “Al-Qur’an itu secara keseluruhannya adalah kalam Allah dan—dalam pengertian biasa—juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad”, telah menghebohkan media massa selama kurang lebih setahun. Banyak media yang menyudutkannya. Al-Bayyinat, media kaum fundamentalis, misalnya, menetapkan Rahman sebagai munkir al-Quran. Puncak kontroversi ini adalah demonstrasi massa dan aksi mogok total, yang menyatakan protes terhadap buku tersebut. Akhirnya, Rahman pun mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam pada 5 September 1968. Jabatan selaku anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam juga dilepaskannya pada 1969.
Akhirnya, Rahman memutuskan hijrah ke Chicago untuk menjabat sebagai guru besar dalam kajian Islam dalam segala aspeknya pada Departement of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago. Bagi Rahman, tampaknya tanah airnya belum siap menyediakan lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggungjawab.

3. Perkembangan Pemikiran dan Karya-karyanya
Dari selintas perjalanan hidup Fazlur Rahman di atas, Taufik Adnan Amal membagi perkembangan pemikirannya ke dalam tiga babakan utama, yang di dasarkan pada perbedaan karakteristik karya-karyanya: (I) periode awal (dekade 50-an); periode Pakistan (dekade 60-an); dan periode Chicago (dekade 70-an dan seterusnya).[6]

Ada tiga karya besar yang disusun Rahman pada periode awal: Avicenna’s Psychology (1952); Avicenna’s De Anima (1959); dan Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (1958). Dua yang pertama merupakan terjemahan dan suntingan karya Ibn Sina (Avisena). Sementara yang terakhir mengupas perbedaan doktrin kenabian antara yang dianut oleh para filosof dengan yang dianut oleh ortodoksi. Untuk melacak pandangan filosof, Rahman mengambil sampel dua filosof ternama, Al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina (980-1037). Secara berturut-turut, dikemukakan pandangan kedua filosof tersebut tentang wahyu kenabian pada tingkat intelektual, proses psikologis wahyu tehnis atau imaninatif, doktrin mukjizat dan konsep dakwah dan syariah. Untuk mewakili pandangan ortodoksi, Rahman menyimak pemikiran Ibn Hazm, Al-Ghazali, Al-Syahrastani, Ibn Taymiyah dan Ibn Khaldun. Hasilnya adalah kesepekatan aliran ortodoks dalam menolak pendekatan intelektualis-murni para filosof terhadap fenomena kenabian. Memang, Kalangan mutakallimun tidak begitu keberatan menerima kesempurnaan intelektual nabi. Tapi mereka lebih menekankan nilai-nilai syariah ketimbang intelektual.
Rahman sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara posisi filosofis dan ortodoksi. Sebab, perbedaan ada sejauh pada tingkat penekanan saja. Menurut para filosof, nabi menerima wahyu dengan mengidentifikasikan dirinya dengan Intelek Aktif; sementara menurut ortodoksi nabi menerima wahyu dengan mengidentifikasikan dirinya dengan malaikat. Sementara para filosof lebih menekankan kapasitas alami nabi sehingga menjadi “nabi-manusia”, ortodoksi lebih suka meraup karakter ilahiah dari mukjziat wahyu ini. Kelak, pandangan ini cukup mempunyai pengaruh terhadap pandangan Rahman tentang proses “psikologis” nabi menerima wahyu. Seperti halnya teori para filosof dan kaum ortodoks, Rahman berteori bahwa Nabi mengidentifikasikan dirinya dengan hukum moral.[7]

Pada periode kedua (Pakistan), ia menulis buku yang berjudul: Islamic Methodology in History (1965). Penyusunan buku ini bertujuan untuk memperlihatkan: (I) evolusi historis perkembangan empat prinsip dasar (sumber pokok) pemikiran Islam—Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’; dan (ii) peran aktual prinsip-prinsip ini dalam perkembangan sejarah Islam itu sendiri. Buku kedua yang ditulis Rahman pada periode kedua ini adalah Islam, yang menyuguhkan—meminjam istilah Amin Abdullah—rekontruksi sistemik terhadap perkembangan Islam selama empat belas abad. Buku ini boleh dibilang sebagai advanced introduction tentang Islam.

Pada periode Chicago, Rahman menyusun: The Philosophy of Mulla Sadra (1975), Major Theme of the Qur’an (1980); dan Islam and Modernity:Transformatioan of an intellektual tradition (1982).
Kalau karya-karya Rahman pada periode pertama boleh dikata bersifat kajian historis, pada periode kedua bersifat hitoris sekaligus interpretatif (normatif), maka karya-karya pada periode ketiga ini lebih bersifat normatif murni. Pada periode awal dan kedua, Rahman belum secara terang-terangan mengaku terlibat langsung dalam arus pembaruan pemikiran Islam. Baru pada periode ketiga Rahman mengakui dirinya, setelah mebagi babakan pembaruan dalam dunia Islam, sebagai juru bicara neomodernis.

B. Proyek Membuka Pintu Ijtihad
Temuan historis Rahman mengenai evolusi perkembangan empat prinsip dasar (Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’), dalam bukunya Islamic Methodology in History (1965), yang dilatari oleh pergumulannya dalam upaya-upaya pembaruan (hukum) Islam di Pakistan, pada gilirannya telah mengantarkannya pada agenda yang lebih penting lagi: perumusan kembali penafsiran Al-Qur’an yang merupakan jantung ijtihadnya.

Dalam kajian historisnya ini, Rahman menemukan adanya hubungan organis antara sunnah ideal Nabi SAW dan aktivitas ijtihad-ijma’. Bagi Rahman, sunnah kaum muslim awal merupakan hasil ijtihad personal, melalui instrumen qiyas, terhadap sunnah ideal nabi SAW yang kemudian menjelma menjadi ijma’ atau sunnah yang hidup. Di sini, secara tegas Rahman menarik garis yang membedakan antara sunnah ideal nabi SAW di satu sisi, dengan sunnah hidup kaum muslim awal atau ijma’ sahabat di sisi lain. Dengan demikian, ijma’ pada asalnya tidaklah statis, melainkan berkembang secara demokratis, kreatif dan berorientasi ke depan.[8] Namun demikian, karena keberhasilan gerakan penulisan hadis secara besar-besaran yang dikampanyekan Al-syafi’I untuk menggantikan proses sunah-ijtihad-ijma’ tersebut, proses ijtihad-ijma’ terjungkirbalikkan menjadi ijma’-ijtihad. Akibatnya, ijma’ yang tadinya berorientasi ke depan menjadi statis dan mundur ke belakang: mengunci rapat kesepakan-kesepakatan muslim masa lampau. Puncak dari proses reifikasi ini adalah tertutupnya pintu ijtihad, sekitar abad ke empat Hijrah atau sepuluh masehi.[9]

Berpijak pada temuan historis ini, Rahman secara blak-blakan menolak doktrin tertutupnya pintu ijtihad, ataupun pemilahannya ke dalam ijtihad muthlaq, ijtihad fil masail, dan ijtihad fil madzhab. Rahman mendobrak doktrin ini dengan beberapa langkah: Pertama (1), menegaskan bahwa ijtihad bukanlah hak privilise eksklusif golongan tertentu dalam masyarakat muslim; Kedua (2), menolak kualifikasi ganjil mengenai ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad; dan Ketiga (3), memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu kesimpulan Rahman: ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis senantiasa terbuka dan tidak pernah tertutup.[10] Tetapi, Rahman pun tampaknya tidak ingin daerah teritorial kebebasan ijtihad yang telah dibukanya—sebagai hasil dari liberalisasinya terhadap konsep ijtihad—menjadi tempat persemaian dan pertumbuhan ijtihad yang liar, sewenang-wenang, serampangan dan tidak bertanggung jawab. Ijtihad yang diinginkan Rahman adalah upaya sistematis, komprehensif dan berjangka panjang. Untuk mencegah ijtihad yang sewenag-wenang dan merealisasikan ijtihad yang bertanggung jawab itulah, Rahman mengajukan metodologi tafsirnya, yang disusun belakangan pada periode Chicago. Dan dalam konteks inilah metodologi tafsir Rahman yang dipandangnya sebagai “the correct prosedure for understanding the Qur’an” atau “ the correct methode of Interpreteting The Qur’an” [11] memainkan peran sentral dalam seluruh bangunan pemikirannya. Metodologi tafsir Rahman merupakan jantung ijtihadnya sendiri. Hal ini selain didasarkan pada fakta bahwa Al-Qur’an sebagai sumber pokok ijtihad, juga yang lebih penting lagi adalah didasarkan pada pandangannya bahwa seluruh bangunan syariah harus diperiksa dibawah sinaran bukti Al-Qur’an:

Seluruh kandungan syari’ah mesti menjadi sasaran penilikan yang segar dalam sinaran bukti Al-Qur’an. Suatu penafsiran Al-Qur’an yang sistematis dan berani harus dilakukan. [12]
Akan tetapi, justru persoalannya terletak pada kemampuan kaum muslim untuk mengkonsepsi Al-Qur’an secara benar. Rahman menegaskan:
bukan hanya kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah sebagai mana yang dilakukan pada masa lalu, tetapi suatu pemahaman terhadap keduanyalah yang akan memberikan pimpinan kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa lampau secara sederhana, tentu saja kembali keliang kubur. Dan ketika kita kembali kepada generasi muslim awal ,pasti kita temui pemahaman yang hidup terhadap Al-Qur’an dan sunnah.[13]

Ada apa dengan fazlurrahman

Fazlur Rahman dilahirkan pada tahun 1919 di daerah barat laut Pakistan. Ia dibesarkan dalam keluarga yang bermadzhab Hanafi, suatu madzhab fiqih yang dikenal paling rasional di antara madzhab sunni lainnya. Ketika itu anak benua Indo-Pakistan belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, yakni India dan Pakistan. Anak benua ini terkenal dengan para pemikir islam liberalnya, seperti Syah Wali Allah,Sir Sayyid Ali dan Iqbal.

A. Potret Seorang Intelektual Neomodernis
1. Latar Belakang sosial dan Intelektual
Fazlur Rahman dilahirkan pada tahun 1919 di daerah barat laut Pakistan. Ia dibesarkan dalam keluarga yang bermadzhab Hanafi, suatu madzhab fiqih yang dikenal paling rasional ...read more

Sabtu, 13 Juni 2009

"Physcolinguistik"

ada apa dengan language

what is the LAD
language and Acquisition....

Minggu, 01 Februari 2009

Pendekatan Integrative – Interkonektif studi Islam

Pendekatan Integrative – Interkonektif studi Islam

I.Model Pendekatan kajian Islam di Barat
Untuk memahami lebih jauh kondisi slam di barat, pertanyaan pertama yang mendasar adalah bagaimana eksistensi kajian terhadap agama mereka sendiri. Berkaca pada kajian agamayang mereka anut sendiri, misalnya Kristen, mereka rupanya banyak terlibat pada kajian teologi. Kajian teologi yang mereka aktifkan adalah studi Bibel, etika dan sejarah agama. Ini biasanya didapatkan pada institusi yang disebut dengan Divinity Cshool (Sekolah Ketuhanan) atau Seminary, misalnya yang terkenal di Amerika adalah Harford Seminary. Dalam perjalanan dan perkembangannya, bukan hanya menjadikan masyarakat barat sebagai lapangan penelitian , namun juga masyarakat dunia terutama di dunia islam. Pola pendekatan yang digunakan dalam meneliti dunia islam yang sasarannya berupa masyarakat islam dan ajaran islam itu sendiri. Ada empat pendekatan yang dipakai dalam mengkaji tentang keislaman itu sendiri (AL Qodri A, Azizi, 2003)
1.Menggunakan metode ilmu ilmu yang masuk dalam kelompok humaniora (humanities), seperti filsafat, filosofi, ilmu bahasa dan sejarah.
2.Menggunakan metode ilmu dalam disiplin teologi, etudi bible dan sejarah gereja, dimana penduduknya formalnya diperoleh dari Divinity School
3.Menggunakan netode social (social science) seperti sosiologi, antropologi, politik dan psikologi,meskipun disiplin ini ada yang mengelompokkan kedalam humaniora.
4.Menggunakan pendekatan yang dilakukan di jurusan jurusan, pusat-pusat atau hanya commite untuk area studies.
Pendekatan pertama sampai ketiga nampaknya lebih jelas karena memakai disiplin yang sudah dianggap baku. Meskipunada tuntutan spesifikasi dari segi metodologi dibandingkan dengan sasarannya selain islam. Sedangkan area studies ini berlawanan dengan disiplin yang sudah baku. Karena lebih menekankan pada hal hal yang bersifat situasional dari pada teoritik. Disini sering di dianggap bahwa kajian yang yang bersifat interdisipliner bisa berarti suatu kajian yang tidak focus pada disiplin tertentu. Yang disyaratkan dalam area ini studies adalah jalan yang dapat mengaitkan objek-objek kajian dan disiplin yang hendaknya bisa memberi tahu tentang apa yang bisa diketahui dan seberapa baik bisa mengetahuinya.
II.Menurut M Amin Abdullah
Dengan cara pendekatan Integratif dan interkonektif sebagai upaya mengurangi ketegangan yang sering kali tidak produktif dalam studi keislaman kontemporer. Barangkali dalam paradikma interkoneksitas yang berasumsi untuk memehami kompleksitas fenomene kehidupan yang dihadapi manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan social, humanitas maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri, dalam menyatukan saling manyapa antara satu bangunan ilmu dengan yang lainnya, treutama sains dan agama.
Interkoneksitas atas dikotomi hendaknya dapat didekati dengan tiga pwersepektif, epistemology, aksiologi dan ontologis. Yang masing masing memnerikan respon terhadp dikotomi pendidikan, menawarkan pandangan dunia (worl view) manusia beragama dan imuwan yang baru terbuka dan dialogis serta mencairkan hubungan berbagai disiplin keiluwan manjadi terbuka. Namunsebagian muslim mengemukakan bahwa sains yangberkembang pada masyarakat musim dahulu berbeda dengan sains di barat, pada masyarakat muslim aspek ketuhanan menjadi titik pijakan sains. Walaupun sebenarnya sangat sulit terlihat batasan batasan wilayah sains dengan agama dalam dua kutub barat dan timur. Sebagai contoh adalah pada masa dinasti umayyah mendirikan observatorium astronomi di damaskus awal tahun 700. selama paruh kedua abad ke 2 H/ 8 M, kholifah kedua Dinasti Abbasiyyah Al Manshur telah mengumpulkan sejumlah ilmuwan di Baghdad, termasuk dokter dokter dari Persia dan para astronot dari India.
Karya-karya abad ke 2 / 8 M dari ahli kimia termasyhur Jabir Ibn Hayyah membuktikan bahwa keakraban umat islam dengan sains yang integrasi ke dalam kultur dengan nilai islam.
Pada bagian lain mungkin juga level ontologism, dimana teori sains berbicara mengenai realitas dan dirujuk dengan pandangan keagaman sehingga ada kemungkinan disisi lain epistemology dan metodologinya tak tersentuh, dianggap relative dan bebas nilai, baru kemudfian dilakukan integrasi pada level ontology.
Sedangkan aksiologi mungkin pada cabang-cabang ilmu tertentu. Namun integrasi dan interkoneksitas sering kali terkesan bahwa sains mengalami ekslueif karena dikalim telah diislamkan dan ini bisa memunculkan persoalan karena umat islam masing masing mempunyai pandangan sendiri-sendiri dalam menterjemahkan sains dan agama. Sebagian mengatakan bahwa agama begitu berpengaruh terhadap perkembangan sians, sehingga perkembangan sians tidak boleh menyalahi aturan agama itu sendiri. Karena pada dasarnya agama adalah undang undang dari sains itu sendiri.
Tetapi ada yang berpendapat bahwa sains adalah jalan menuju sebuah agama. Dengan mengembangkan sains maka kita akan mencari tahu keberadaan posisi agama itu sendiri. Seperti yang dilakukan Karl Max walupun di beberapa buku ia dikatakan sebagai seorang yang sosialis komunis.
Sebagaio jalan tengah adalah antara agama dan sains memiliki integrasi dan hubungan yang saling memperkuat. Agama menjadi lebih bisa diyakini dan diterima akal dengan adanya sains, begitu juga sains memiliki inovasi dari agama itu sendiri dan juga dikendalikan olehnya.
Hal hal tersebut merupakan factor minimal dalam interaksi social, walaupun pada kenyataan lebih lanjut proses yang berlangsung justru sangat kompleks. Ketika interaksi yang berjalan pada wilayah interkoneksitas dan bahkan integritas lebih didominasi watak dan culture sains sekuler, karena sekulerisasi kebudayaan terutama akan menyusurkan hal yang sacral dan peningkatan rasionalitas fikiran manusia. Keduanya merupakan perubahan bentuk pemikiran dan transformasi masyarakat. Perubahan pada zona pemikiran yang kompleks melahirkan berbagai menifestasi terutama pada kegiatan utama manusia, lebih jauh melahirkan perubahan dalam system ide, gagasan, kultur yang terpola dan terlembagakan kedalam struktur. Sehingga transformasi yang berjalan sangat dialogis dan intraktif sarat dengan perubahan “nilai”.

III.Kesimpulan
Dengan adanya paradigma integrasi dan interkonektif akan melepaskan dikotomi antara ilmu agama dan sains sekuler. Tentu sebagian kalangan sangat apresiatif dengan adanya perubahan. Namun sisi lain banyak pihak yang mecemaskan perubahan tersebut. Karena ada kemungkinan dari arus transformasi yang bergulir yang mengalami perubahan justru pada wilayah kultur, ideology dan system yang lebih kearah sekulerisme. Sehingga islam hanya menjadi loga yang hanya bermakna simbolik semata, sedangkan pada praktek social masyarakat lebih didominasi nuansa sains sekuler dibandingkan nuansa sufisme dan tradisi keislaman yang lebih menampilkan sisi subtantif nilai moral keislaman. Sehingga muncul kesenjangan antara kesalehan dengan social dan kesalehan sains modern. Secara normative teologis wahyu akan selalu menjadi satu kerangka berpikir yang mempunyai makna universal sesuai dengan perkembangan dan tuntunan zaman, pada giliran lain wahyu sangat penting untuk dipahami dan diinterpretasikan sesuai dengan konteks social masyarakat yang ada. Tentu yang mempunyai prasyarat tidak mengaburkan nilai dan substansi yang menjadi pesan suci transendensi universal.
Dengan adanya integrasi antara ilmu agama maka agama itu akan dimengerti secara universal dan komplit maka tidak aneh ketika ilmu dalam agam islam itu sendiri bermacam macam cabangnya. Dalam memperkuat kayakinan kita kita menggunakan ilmu akidah, dalam beribadah dan bermuamalah kita memekai ilmu fiqh dan akhlak, dan banyak cabang ilmu lainnya.
Islam yang universal tidak cukup dengan menguasai ilmu dalam agama islam itu sendiri, harus berkembang dengan ilmu lainnya seperti astrologi, matematika dan lainnya. Hal itu adalah untuk memperkuat dan memperjelas ajaran islam itu sendiri sehingga bisa diterima dengan akal rasio dan diyakini oleh hati.
Firman Allah SWT dalam surat Al Baqoroh 208
                
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Dengan adanya integrasi dan interkoneksi antara disiplin ilmu maka islam dikatakan sebagai islam yang rohmatallil’alamin. Islam sebagai cahaya dunia yang mampu menerangi kegelapan dunia





.

kedudukaN Hadist dan Qur'an

PENDAHULUAN
Memahami hadist adalah penting peranannya dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim. Setiap muslim harus selalu berusaha agar hadist selalu lestari dan diamalkan oleh setiap orang islam. Dalam kajiannya baik dengan kitab-kitab hadist, buku-buku tentang hadist serta dalam diskusi maupun makalah-makalah untuk ikut serta dalam menjunjung tinggi peranan hadist dalam kehidupan ini.
Kelompok kami ditugasi untuk mengkaji tentang peran dan fungsi dari hadist serta keeduddkannya terhadap Al Qur’an. Kami yakin dalam kami menyusun makalah ini banyak kekeliruan, untuk itu kami mohon kritik dsn sarannya agar dalam mengerjakan tugas lainnya dapat lebih sempurna, dan kami ucapkan banyak terima kasih kepada seluruh rekan-rekan yang telah membantu menyelesaikan tugas ini secara tuntas khususnya pada rekan-rekan dalam kelompok ini. Dan kami mohon maaf kepada seluruh pihak baik yang memberi tugas ataupun pembaca pada umumnya apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun pemaknaan kata ayat-ayat.

Penyusun



1.Urgensi hadist dalam kehidupan muslim
Hadist dalam sumber hukum kedua setelah al quran harus menjadi pegangan pokok dalam menjalankan syari’at islam, sesuai dengan firman Allah surat Al Ahzab: 36
“Dan tidaklah pantas bagi orang-orang mukmin laki-laki ataupun perempuan Allah dan rosulnya telah menetapkan suatu ketetapan, mereka mempunyai pilihan lain tentang urusan merek. Barang siapa durhaka terhadap Allaj dan Rosulnya maka sesungguhnya ia telah benar-benar sesat “
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa penjelasan Nabi terhadap agama merupakan penjelasan yang harus pula ditaati setelah AlQur’an yang penjelasannya masih global. Karenanya itu Nabi menerangkan tentang waktu-waktu sholat, nishab zakat, manasik haji dan lain-lain yang tidak tercantum dalam Al Qur’an. Dan penjelsan itu menjadi wewenang Nabi.
Sangat rugi bahkab sesat apabila umat islam tidak mempelajari bahkan tidak yakin akan hadist,karena dalam pelaksanaannya manusialah yang merugi dalam segala hal karena tidak mengetahui hukum0hukum agama yang telah ditetapkanoleh Allah dan rosulnya, kehidupan umat pastilah berantakan karena buta akan petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam hadist.
2.Sikap terhadap mereka yang meragukan hadist
Para pengkritik hadist kebanyakan adalah orang-orang orientalis, mereka berpendapat As Sunnah yang diriwayatkan oleh para ulama hanyalah persepsi mereka terhadap tradisi di masa rosul. Alasan mereka karena tenggang waktu As Sunnah dengan penulisannya ataupun buku-bukunya (muwatto’) dipandang cukup lama sehingga peluang ubtuk merekayasa sangat besar. Namun dalam hal ini ulama menjawabnya dengan berbagai alasan dan argument yang kuat antara lain :
1.Sanadnya bersambung dari nabi hingga perawi terakhir.
2.Para perawi adalah orang yang adil
Alasan itu menjawab dengan jelas bahwa arekayasa dalam penulisan hadist sangat tidak benar. Para orientalis kurang memahami betapa pentingnya hadist terhadap umat islam, karena tanpa hadist umat islam tidak dapat menjalankan syari’atnya yangs ecara turun-temurun telah diajarkan secara detail, praktik langsungdan dengan dakwah oleh para sahabat sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in bagaikan wali-wali, ulama serta da’I dengan tujuan kemurnian dan pembelajaran hadist tetap terjaga sepanjang masa.

3.Inkar Sunnah
Ini diartikan sebuah tindakan atau perbuatan yang tidak menyakini adanya sunnah sebagai pegangan, hanya Al Qur’an satu-satunya dasar mereka dalam menetapkan hukum. Kebanyakan orang yang dikenal dengan inkar sunnah terbagi dalam beberapa golongan, namun yang berkembang hingga sekarang adalah syiah(orang Irak) entah karena kurang fahamnya tentangfungsi sunnah ataupun karena mereka tidak percaya bahwa as Sunnah berasal dari Nabi Muhammad SAW.



Golongan yang dikenal sebagai inkar sunnah antara lain :
1.Khawarij
Mereka tidak percaya dengan hadist yang diriwayatkan oleh sahabat yang terlibat dalam pertikaian politik seperti Usman, Ali dan mereka yang terlibat dalam perang Tahkim dan perang onta.
2.Mu’tazilah
Mereka dikenal sebagai aliran aqidah rasional sehingga mereka menolak hadist yang menurut mereka kurang masuk akal. Hal ini terutama tentang hadist ahad. Namun mereka tetap menyakini hadist mutawatir. Tokoh dalam golomgan ini adalah Al Nazzam
3.Ahlul Qur’an
Pada abad 19 M kelompok yang dipimpin oleh Ghulam Ahmad Parwes tidak mengakui adanya hadist nabi baik yang ahad maupun yang mutawatir. Seperti halnya jumlah rakaat dalam sholat lima waktu, taata cara sholat diserahkan atas kebijakn Pemerintah sesuai situasi dan lokasi. Hal ini dengan alasan karena Al Qur’an hanya mengemukakan peerintah sholat saja. Kelompok-kelompok tersebut meneggunakan alasan :
1.Firman Allah QS Al An’am : 38
“Tidak kami tinggalkan suatupun dalam Al qur’an “
2.Firman Allah QS Al Hijr : 9
“Sesungguhnya kami muenurunkan Al Qur’an dan menjaganya”
3.Larangan nabi terhadap penulisan As Sunnah
4.Pendapat mereka bahwa ajaran agama harus didasarkan pada dalil yang pasti (qoth’i)
Dalam firman Allah QS Al Baqoroh ayat 1-2
“Alif Lam Miim. Itulsh Al Kitab yang tidak mengandung keraguan didalamnya”
Dalam firman Allah QS Surat Alfathir : 31
“Dan Al Kitab yang telah aku turunkan kepadamu itulah yang benar”
Dari dalil diatas para ulama (Al Siba’i) menjawab inkar sunnah dengan beberapa argument :
1.Al Qur’an uraiannya tidak lengkap secara teknis dan praktis Nabi Muhammad SAW memberi penjelasan secara rinci. Hal ini dengan melihat firman Allah dalam An Nahl : 44
“Dan kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”
2.Surat Al Hijr : 9 Al Dzikr berarti hadist nabi. Al Qur’an maupun fikiran jernih untuk umat islam yang dijanji allah SwT dijamin kemurniannya.
3.Tidak ada perintah dalam penulisan hadist disebabkan ditakutkan tercampurnya Al Qur’an dengan hadist namun orang-orang tertentu diberi izin mencatatnya
4.Dsb

5.Fungsi Hadist
Jumhur ulama berpendapat bahwa As Sunnah bertindak sebagai penerang segala penerang sgala yang dikehendaki oleh Allah.
Pendapat lain mengatakan bahwa hadist merupakan petunjuk praktis yang dalam Al Qur’an belum terperinci
Jadi jelaslah bahwa hadist secara global berfungsi sebagai penjelas,pensyarah, penafsir, pengaid dan pentakhsis dari Al Qur’an.
Alasan hadist menjadi dasar hukum yang kedua
1.Assunnah merupakan sumber syariet islam yang kedua sesuai dengan kebijakan para pemimpin islam dahulu. Mereka merujuk kepada hadist tentang suatu masalah keagamaan, karena dalam Al Qur’an tidak ditemukan.
2.Karena rutbah Al Qur’an lebih tinggi daripada hadist
3.Al Qur’an merupakan pokok atau pangkal dari as sunnah dan As Sunnah adalah penjelasan dari Al Qur’an
4.As Sunnah merupakan segala sesuatu yaaaang berasal dari nabi dan itu merupakan uswaatun hasanah yang harus selalu diteladani umaat islam.

PENUTUP
Atas limpahan rahmat dan hidayah. Allah SWT makalah ini dapat terselesaikan walaupun tidak tepat pada waktunya. Namun segala kesempurnaaanya dataang dari Allah dan segala kekurangannya. Dan seegala kekurangan adalah berasal dari kelompok kami, dalam kajian ini penyusun berusaha agar segala sesuatunya dapat mengundang manfaat bagi segala. Pihak dalam makalah ini minimnya buku menjadi kendala dan hal itu akan menjadi pelajaran pada tugas berikut. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.